![]() |
"Perjuangan Angga"
Saya adalah seorang anak yang merantau dari Sumatra
Barat ke Sumatra Selatan. Cerita ini adalah kisah nyata dariku, yang memiliki
suatu impian ingin sekolah ke pondok pesantren. Dan ingin menjadi seorang da’i
pada suatu saat nanti. Tapi pada awalnya aku tidak yakin akan mera
ih impian
itu, karena aku adalah seorang anak yang tergolong miskin, yang mustahil untuk
berkeinginan masuk ke pondok pesantren dan menjadi seorang da’i yang terkenal. Tapi aku yakin… kalau aku pasti bisa
menjadi apa yang aku inginkan.
Pagi
itu adalah pagi yang cerah bagiku, betapa tidak karena hari itu kami sekeluarga
akan merantau ke Sumatera Selatan. Kami sekeluarga tidak membawa barang apapun,
kami hanya bisa membawa pakaian apa yang hanya kami pakai, dan uang secukupnya.
Ayahku mengatakan,
“Wahai anak-anakku,
ingatlah apapun yang akan terjadi kepada kita semua nantinya kalau Allah SWT
selalu bersama kita sampai kapan pun, dan di manapun kita berada. Dan jangan pernah kita semua untuk
melupakan semua nikmat yang Dia berikan kepada kita semua.”
Sungguh…
hatiku seketika menangis akan nasihat seorang ayah yang sangat berhati mulia.
Dia adalah seorang ayah yang sangat aku sayangi. Hari demi hari telah kami
lalui semua, dan sampailah kami di Sumatera Selatan, yang tempatnya di kota
Palembang.
Ketika
sampai di Palembang ayah dan ibuku bingung bukan kepalang, karena arah dan
tujuan kami tak tahu harus ke mana. Sampai akhirnya kami menuju ke pasar yang
sangat terkenal di kota Palembang, yaitu pasar Cinde namanya.
Selama
bertahun-tahun, berbulan-bulan dan berminggu-minggu kami mencari uang di pasar
Cinde untuk bertahan hidup. Kami tidak memiliki harta bahkan rumah sekali pun.
Kami hanya tinggal di mana tempat yang kami sukai.
Ketika itu ayahku membuat
rumah yang berdinding kardus, dan beratap daun rumbian. Yang hanya bisa menampung lima orang di dalamnya.
Kami semua berjumlah sembilan orang, dan tujuh bersaudara. Dan aku termasuk
anak yang paling terakhir dari tujuh bersaudara.
Di pasar Cinde kami semua
berkerja untuk mencari uang. Semua kakak-kakakku juga mencari uang di pasar
Cinde, tak terkecuali juga diriku. Pekerjaan yang kami lakukan berbagai macam
bentuk. Semua yang bisa menjadikan uang kami kerjakan. Dari membantu pedagang
untuk mengangkat barang-barangnya, menjual tempe, dan menjadi tukang kuli di
pasar. Dan termasuk juga diriku menjual kantong plastik di pasar Cinde. Seperti
itulah hari-hari yang harus kami jalani.
Semua pahit manisnya hidup di
Palembang kami rasakan dengan rasa syukur atas apa yang Allah berikan. Juga
ayah dan ibuku bekerja sebagai tukang menjahit sepatu dan sandal di pasar
Cinde. Bisa disebut juga sebagai tukang sol.
Waktu itu umurku sudah menginjak
enam tahun, karena waktu ketika merantau dari Padang ke Palembang umurku baru
tiga tahun. Aku ingin sekali sekolah seperti anak-anak Palembang lainnya. Dan
aku ingin sekali sekolah di pondok pesantren, karena impianku waktu itu ingin
menjadi seorang da’i yang bisa membawa umat ini menjadi umat yang berkualitas.
Dan pada tahun 1999 kami
sekeluarga pindah ke Ilir Timur II Palembang, yang tempatnya di daerah pasar
Lemabang, karena pada waktu itu rumah yang ayah buat dihancurkan oleh petugas
keamanan pasar di Cinde, dan terpaksa kami semua pindah ke pasar Lemabang. Dan
ternyata di pasar itu terdapat banyak pedagang yang berasal dari Sumatera
Barat.
Alhamdulillah kaimi bisa
mengontrak rumah yang dapat kami tempati, walaupun hanya rumah yang gubuk. Seakan-akan kalau ada angin yang keras
maka rumah itu akan hancur berantakan. Pada tahun itu pula aku mulai masuk SD
Negeri 466 JL. Gotong Royong, Kec. Sungai Buah. Waktu itu seakan-akan aku
bermimpi bisa sekolah sama seperti anak-anak Palembang lainnya. Walaupun aku
tidak bisa masuk SD di pesantren karena ayah dan ibuku tidak sanggup untum
membayar uang pendaftaran di pesantren.
Tapi aku yakin suatu saat
nanti aku pasti bisa melanjutkan sekolahku ke pondok pesantren. Setiap hari aku
mencari uang di pasar Lemabang karena untuk membayar SPP ku di sekolahan. Dari
awal masuk SD sampai aku tamat aku tidak pernah meminta uang sepersen pun untuk
biaya sekolah kepada kedua orang tuaku. Semua biaya SPP sekolah aku yang
membayar dan mencari uang sendiri untuk semua impianku ingin menjadi seorang
yang sukses suatu saat nanti.
Pukul 06.00 WIB, pagi itu aku
berangkat ke sekolah sampai pukul 12.00 WIB dalam setiap harinya. Sepulang
sekolah aku mulai bergegas untuk pergi ke pasar dengan membawa seperangkat
daganganku yaitu kantong plastik, beberapa paks dan ku masukkan ke dalam
ranselku.
Aku tidak pernah menyerah
untuk mencari uang di pasar. Walaupun hujan yang sangat deras sekali pun, aku
tetap pergi ke pasar untuk meraih semua impian-impian yang ku ukir di lembaran
kertas-kertas yang bila kulihat sudah tak layak lagi untuk dipakai, karena
sudah lumayan tua umur buku catatan impianku yang sekrang insya’ Allah masih
ada, walaupun telah rusak.
Anak seorang miskin yang ingin menjadikan dirinya sukses
di kemudian hari kini masih tetap bisa melanjutkan sekolah di Sdnya, walaupun
setiap bulan dipanggil oleh kepala sekolah karena selalu menunggak dalam
pembayaran SPP. Walaupun dia tak bisa sekolah dengan memiliki uang banyak
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki harta banyak di SD tersebut tapi
dia yakin dia pasti bisa.
Mungkin di SD itu aku adalah termasuk anak yang paling
miskin, seragamku pun adalah sumbangan dari berbagai tetangga yang ada di
sekitar rumahku. Dalam benakku selalu mengatakan,
“Walaupun aku adalah anak seorang yang miskin tidak
memiliki apapun, tetapi semangat juangku untuk meraih impianku takkan pernah
luntur walaupun aku sakit sekalipun, aku tidak akan pernah menyerah dengan
orang-orang yang memiliki harta yang banyak.”
*** *** ***
Suatu
hari ibuku pernah berpesan kepadaku,
“Anakku, yakinlah kalau sesungguhnya orang yang kaya belum tentu
bisa meraih impiannya, tetapi orang yang miskin pasti bisa meraih impiannya,
dengan catatan ia harus berusaha, yakin dan ikhtiar.Itu yang harus kamu
tanamkan di dalam hatimu yang paling dalam. Sampai akhirnya akupun menangis dan
tertidur di pangkuan sang ibu yang tercinta.
Ujung jari-jemariku
menyentuh bintang-bingtang kecil yang berterbangan di angkasa raya, satu
persatu aku geser dari tempat asalnya, kemudian kurangkai ribuan
bintang-bintang kecil itu menjadi sebuah gambar rumah yang megah dan indah.
Lalu tak lupa kuukir wajah ayah dan ibuku yang sedang tersenyum bahagia di atas
rumah yang megah dan indah itu. Aku pun tersenyum bahagia.
“Angga… Angga…!
Bangun nak!” tersentak aku terjaga dari tidurku manakala ibuku tercinta
memanggil seraya membangunkan aku dari tidurku. Jemarinya yang lembut menyentuh
raut wajahku.
“Besok kamu mau
puasa atau tidak, Ngga?” tanya ibu.
Saat ku buka mata
memandang wajah beliau terlihat senyuman kecil dari bibirnya yang dalam.
“Iya bu, besok aku
mau puasa,” jawabku sambil membuang pandanganku karena malu. Lalu aku
menggosok-gosok kedua mataku dengan kedua telapak tanganku, seraya memperjelas
pandanganku.
Namun ibu tak
langsung beranjak pergi, dia malah duduk di pinggiran kasur tempat tidurku tang
terletak di lantai. Perlahan tangan kanannya meraih kepalaku yang masih membuai
di atas bantal, sekali lagi jemarinya membelai rambutku dengan lembut dan penuh
kasih sayang.
“Dari tadi ibu ingin membangunkanmu. Cukup
lama juga ibu memperhatikan raut wajahmu yang masih tertidur pulas sambil
tersenyum. Kamu sedang bermimpi ya nak?” tanya ibu.
Seketika
saja aku bangkit dari tidurku seraya menyudahi belaian ibu yang masih saja
membuat aku tertidur kembali. Ya, aku memang selalu merasa nyaman bila di
dekatnya.
“Apakah
ibu ingin selama mengontrak rumah? Apakah ibu tak ingin punya rumah sendiri
yang besar dan indah?”
Ibuku
hanya mengeryitkan keningnya, seolah ingin menyatukan kedua alis matanya yang
terpisah. Tentu ia heran dengan pertanyaanku yang bukan menjadi jawaban dari
pertanyaannya.
“Tentu
saja ibu dan bapak menginginkan rumah sendiri daripada mengontrak. Ya… walaupun
tak harus besar dan bagus. Maksud kamu apa menanyakan hal ini kepada ibu? Ibu
nggak mengerti dengan pertanyaan kamu Ngga.”
Kembali
aku menghadapkan wajahku pada ibuku, lalu sambil tersenyum aku menjawab dua
pertanyaannya sekaligus dengan satu jawaban.
“Begini
loh bu, tadi sebelum ibu membangunkanku, aku sedang membuat sebuah rumah yang megah
dan indah untuk ibu dan bapak. Tapi aku membuatnya dengan memakai ribuan
bintang kecil di angkasa sana.” Jelasku sambil mengancungkan jari telunjuk ke
arah langit-langit rumah dengan semangat. Ibuku
pun langsung tertawa geli ketika mendengar penjelasan yang aku berikan.
“Angga,
Angga… kamu ini ada-ada saja, mimpimu itu terlalu besar untuk dinyatakan jika
sebesar bintang dan mimpimu itu terlalu indah untuk diungkapkan jika seindah
bintang pula. Tapi mimpimu itu tidak akan sulit dibuktikan jika itu bintang
kecil, kelak suatu saat nanti.”
*** *** ***
Waktu terus
bergulir, seiring hari yang terus berganti dan akhirnya aku pun mulai beranjak
duduk di bangku kelas VI SD , dan ujian pun telah kami selasaikan
semua.
Keesokan harinya
pagi yang sangat cerah, sekaligus kesedihan yang kami alami. Yaitu, hari
perpisahan di mana kami sekelas dengan seorang guru yang sangat kami hormati,
ibu Citra kami memanggilnya.
Ketika itu ia menanyakan satu persatu dari
kami semua, Setelah tamat SD ini Kalian mau melanjutkan ke mana? Satu persatu
pun menyebutkan tujuan sekolahnya masing-masing. Dan tibalah giliranku untuk
menyebutkan sekolah yang akan aku tuju. Dan aku pun mengatakan semua impian
yang aku tulis ketika aku baru memulai di Sumatera Selatan, yaitu impianku yang
ingin sekolah ke pondok pesantren, karena aku ingin menjadi seorang da’i yang
bisa membawa umat ini menjadi umat yang berkualitas.
Semua
teman-temanku tertawa dan melecehkanku, mereka mengatakkan kalau aku adalah
seorang anak yang miskin dan mustahil bisa untuk bisa sekolah di pesantren.
Tapi aku yakin, kalau aku pasti bisa menjawab semua lecehan dan hinaan
teman-teman sekelasku. Dan yang paling membuatku menangis ibu guruku juga
menertawakan ku. Aku pun mengatakan kepada mereka,
“Ingatlah wahai
teman-temanku, suatu saat nanti kalian pasti akan melihat aku berbicara di
depan orang banyak dan mendapatkan penghargaan yang luar biasa.”
Semua teman-teman ku terdiam dan
menundukkan pandangan mereka, karna waktu itu aku berbicara sambil menangis. Akupun
lansung meninggalkan kelas tampa sebab, Dan berlari sekencang-kencangnya.
“Ya
Allah beginikah nasib seorang anak miskin yang tidak memiliki harta, yang tak
mampu untuk bisa meraih semua impiannya, oleh karna aku termasuk anak seorang
yang miskin.” Gumamku.
Dan
hari kelulusan telah kami lalui, akupun mendekatkan diriku dan bertanya kepada
ayah dan ibuku kalau aku ingin melanjutkan sekolahku ke pondok pesantren. Ibu
dan ayahku langsung terdiam dan membisu karna tak bisa menjawab pertanyaan yang
aku ajukan. Lalu ayahku bilang kalau aku akan di masukkan di SMP Negeri 8
Palembang.
Hatiku
langsung menangis akan mendengar jawaban dari seorang ayah yang selama ini aku
kagumi. Aku tidak mau sekolah di SMP karna impian dan tujuanku bukan ke SMP
melainkan ke pondok pesantren. Bahkan aku sudah didaftarkan di SMP Negeri 8
Palembang, dan sudah memulai belajar selama satu minggu lamanya. Akupun tidak
pernah masuk sekolah karna aku tak ingin sekolah di SMP.
Sampai akhirnya akupun berhenti sekolah. Aku
tidak akan pernah untuk menyerah akan semua impian yang selama ini menjadi
bahan semangatku untuk meraih semua impian itu.
Ya… sekolah di pondok pesantren .
Aku
baru ingat kalau aku memiliki seorang kakak yang sedang bekerja di Malaysia, ia
bekerja di Perusahaan electronik di bagian pembuatan lemari es, televisi dan
sebagainya.
Akupun
bergegas ke pasar dan mencari wartel guna menelpon kakakku yang berada di
Malaysia. Kemudian kuceritakan semua kesah-keluhku selama ini kalau aku ingin
sekolah ke pondok pesantren . seorang kakak yang selalu sayang akan diriku.
Kakakku
mengatakan. “Angga.. kalau kamu ingin masuk pesantren, silahkan nggak apa-apa,
soal biaya biar nanti kakak yang tanggun semuanya.” Seketika itu aku langsung
sujud syukur atas keajaiban yang Allah berikan padaku. Orang di wartel heran melihat aku sedang sujud di
lantai yang kurang bersih. Aku sama sekali tidak memperdulikan mereka yang
jelas aku sujud dan sambil menangis berterimakasih kepada Allah SWT.
Langsung
saja aku bergegas pulang dan menceritakan semua pembicaraanku dengan kakakku
lewat wartel. Selesai aku ceritakan semua apa yang terjadi, ibuku lansung saja
memeluk erat tubuhku sambil menangis dan berkata.
“Nak, Besok kita cari pondok
pesantren dan kamu bisa sekolah di sana sampai tamat.”
Sungguh, benar-benar keajaiban
yang aku rasakan saat itu, dan aku berjanji akan membahagiakan ibu dan ayahku
sampai kapanpun.
Dan sekarang awal mimpi itu
telah aku jalankan di pondok pesantren Raudhatul Ulum. Sebab itu alasanku
memberi judul cerpen ini, “Ma’hadi
Jannati.” Karna bagiku pondoku adalah surgaku yang
ada di dunia.
*** *** ***
“Saudaraku, mulailah
impian kalian dengan rasa yakin kalau kalian akan menjadi orang yang berhasil
di kemudian hari, tapi kalau impian kalian dimulai dengan rasa ragu, maka
kalian tidak akan pernah mandapatkan impian itu.”
(Salam Penulis)
Sekilas Untaian Kata

Di Palembang, penulis
terlahir sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara tepat pada tanggal, 25 mei
1992. Seorang anak laki-laki dari pasangan Yasir dan Ratna ini kemudian diberi
nama lengkap .
Rizky Angga Putra.
Entah karena kepapaan atau alasan lainnya, dirinya lebih
memilih sekolah di pondok pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya Ogan Ilir
dari pada sekolah formal seusai penulis
lulus dari bangku SD. Hanya mengenyam
pendidikan formal tingkat dasar pada abad modern ini memang terasa pahit dan
getir.
Dari hobinya membaca buku, akhirnya lahirlah tulisan ini yang
merupakan sebuah kisah nyata dalam masa kecilku dulu yang diharapkan menjadi
satu titik dari kepenulisan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Kini, penulis
bermukim di Sungai Buah, No 1787 RT 16 Kec. Ilir Timur II Palembang . SUMSEL .
No Hp : 085669233400

Tidak ada komentar:
Posting Komentar