Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan
Iklim Penanaman Modal dalam hak Asasi Manusia1
Oleh: Risk Angga Putra2
Abstrak
CSR harus dimaknai
bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus
dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan
sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai
keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang terkai
dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika
ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui
pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai
instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis.
A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya
disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional.
Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan
yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu.
Berbeda dengan
kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR baru dimulai beberapa tahun
belakangan. Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus
globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri
tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan
perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan.
Namun amat disesalkan
dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375
perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan
tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan
CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan
kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50
perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social (39) perusahaan) keempat,
pengembangan komunitas (4 perusahaan).3
Hasil Program Penilaian
Peringkat Perusahaan (PROPER) 2004-2005 Kementerian Negara Lingkungan Hidup
menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor
hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas.
Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah,
menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping
itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR.
1Didiskusikan pada
diskusi rutin Ikatan Keluarga Alumni Raudhatul Ulum Sakatiga (IKARUS)
Yogyakarta, 08 Dessember 2013
2Penulis adalah kader
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Fakultas Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi Uin Suka Yogyakarta, aktif sebagai Ketua Angkatan 2011 KAMMI, 2
Periode kepengurusan KAMMI PH (KADEP Kastrat) 2012 & 2013 Dan Anggota IKARUS Angkatan 2011, aktif
sebagai staf Bidang Wamas Periode 2013 IKARUS Yogyakarta.
3Suprapto, Siti
Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Lokal di
Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
Kondisi tersebut makin
populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan
bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Aturan lebih tegas
sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap
penanam modal berkewajiban melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika
tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan
kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal,
atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(pasal 34 ayat (1) UU PM).
Tentu saja kedua
ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama
pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat
itu sempat mengundnag polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut
masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung
dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat
keras menentang kehadiran dari pasal tersebut.
Pertanyaan yang selalu
muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban ?
Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan
sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha,
pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya
selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru
kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan.
Pikiran-pikiran yang
menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir
dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang
akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini
diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif
kewajiban hukum.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang dan problematika yang muncul tersebut di atas maka permasalahan
yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimanakah esensi pengaturan
hukum CSR dan implikasinya dalam meningkatkan iklim investasi di
Indonesia ?
1. Esensi Pengaturan CSR sebagai Kewajiban Hukum
Sebelum membahas
lebih jauh mengenai hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim
penanaman modal perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR.
Sampai saat ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR,
meskipun kalangan dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi
keberlanjutan usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR
dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders
dalam arti keseluruhan.4
4Gurvy Kavei dalam
Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah pada seminar
“Corporate Social Responsibility”: Integrating Social Acpect iinto The
Business, Yogyajarta, 2006.
Hal tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
- The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as wol as of the local community and society at large”.
- John Elkingston’s menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation”.5
- Penjelasan pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “.6
- Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengertian-pengertian CSR tampak belum adanya
keseragaman ataupun persamaan persepsi dan pandangan mengenai CSR. Terlihat
dari ketentuan dalam UUPM dan UUPT, melihat tanggung jawab sosial pada titik
pandang yang berbeda. UUPM lebih menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk
menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia beroperasi.
Sedangkan UUPT justru
mencoba memisahkan antara tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab
lingkungan. UUPM bertolak dari konsep tanggung jawab perusahaan pada aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Namun demikian
keduanya mempunyai tujuan yang sama mengarah pada CSR sebagai sebuah komitmen
perusahaan terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan dalam upaya meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan.
Jika ditarik pada
berbagai pengertian di atas maka CSR merupakan komitmen perusahaan terhadap
kepentingan pada stakeholders dalam arti luas dari sekedar kepentingan
perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun secara moral adalah baik bahwa
perusahaan maupun penanam modal mengejar keuntungan, bukan berarti
perusahaan ataupun penanam modal dibenarkan mencapai keuntungan
dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang
terkait.
Kesadaran ini
memberikan makna bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang mementingkan
diri sendiri, alienasi dan atau eksklusifitas dari lingkungan masyarakat,
melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan
lingkungan sosial. Sehingga tidak berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai
bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus
dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan
sanksi.7
5John Elkington, Cannibals
with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip
dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat
Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise,
2005, h. 19.
6
Penjelasan Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal.
7Pascal
74 ayat (3) UUPT yang menyatakan “perseroan yang tidak melaknakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Menyikapi kondisi yang
ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya
merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang hendak dicapai.
Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan tertentu untuk
mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas masyarakat,
oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama dalah ”social
engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum harus dikembangkan
sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan
rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu kepentingan
pribadi, masyarakat dan umum.8
Dengan demikian hukum
bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool
of social engineering). Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada akal,
tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang
dikembangkan oleh akal.
Konteks tanggung jawab
social (CSR) dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab atas perintah
undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas
kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab social berada
pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam
tanggung ajwab social lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan
sepenuhnya dari sikap batiniha, sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas”
yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Sedangkan tanggung
jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan,
meskipun tindakan tersbeut secara obyektif tidak salah, barangkali baik dan
sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun
demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik suatu
kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan
teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan
bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan
terhadap kepentingan stakeholders dalam arti luas dari pada kepedulian
perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka.9
Dengan demikian konsep
tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas
tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu,
masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan- perusahaan melakukan aktivitas
usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak-pihak
tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif hal ini mengandung makna
bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya sedemikian rupa, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.
Kondisi Indonesia masih
menghendaki adanya CSR sebagai suatu kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR
masih rendah, kondisinya yang terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang
cukup dan bahkan seringkali terjadi suatu yang diatur saja masih
ditabrak, apalagi kalau tidak diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum
masih sangat rendah.
8Roscoe Pound dalam Mas
Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke
Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, 1992, h. 68.
9Sonny A . Keraf, Etika
BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 122-127.
Jika situasi dan
kondisi yang terjadi masih seperti tersebut di atas, maka hukum harus berperan.
Tanggung jawab perusahaan yang semula adalah tanggung jawab non hukum (responsibility)
akan berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability). Otomatis
perusahaan yang tidak memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi.
2. CSR dan Implikasinya pada Iklim Penanaman Modal di Indonesia
Selanjutnya akan
dibahas mengenai bagaimana CSR dan implikasinya terhadap iklim penanaman modal
di Indonesia. Penanaman modal dalam UUPM No. 25 Tahun 2007, Pasal 1
angka 1 dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam
modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.
Kehadiran UUPM NO. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan angin segar
kepada investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan. Kenyamanan
dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah kepastian
hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal yang
ditanamkan.
Secara garis besar
tujuan dari dikeluarkannya UU PM tentunya disamping memberikan kepastian
hukum juga adanya transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan
perlakuan yang sama kepada investor dalam dan luar negeri.
Dengan adanya kepastian
hukum dan jaminan kenyamanan serta keamanan terhadap investor, tentunya akan
meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadinya
krisis moneter. Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi
bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya
untuk menigkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan
kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang
berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan
penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat
iklim investasi dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi
antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien,
kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing
tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan
berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut, diharapkan realisasi penanaman
modal akan membaik secara signifikan.
Penerapan kewajiban
CSR sebabagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ,
Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika tidak dilakukan maka dapat diberikan
sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal
(Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung
jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat
setempat.10
10Penjelasan Pasal 15
huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Ilustrasi yang
menggambarkan keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah
kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang
beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola
lingkungan. ”Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya
melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian
terhadap kepentingan sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo
di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik
masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran
oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah
kewajiban CSR juga sudah diterapkan pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan
pelat merah telah lama menerapkan CSR dengan cara memberikan bantuan kepada
pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam
Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena
itu, perusahaan yang ada di Indonesia sudah waktunya turut serta memikirkan
hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan dimana perusahaan itu berada”.11
Tren globalisasi
menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sudah menjadi hal yang
mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Lingkungan hidup
yang sehat merupakan bagian dari hak azasi manusia. Di Inggris dan Belanda
misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal,
disamping penilaian dari publik sendiri. ”Kalau perusahaan itu tidak pernah
melakukan CSR justru kinerja saham di bursa saham kurang bagus”.
CSR dalam konteks
penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek
bisnis yang tidak etis. Oleh karena itu harus dibantah pendapat yang menyatakan
CSR identik dengan kegiatan sukarela, dan menghambat iklim investasi. CSR
merupakan sarana untuk meminimalisir dampak negatif dari proses produksi bisnis
terhadap publik, khususnya dengan para stakeholdernya. Maka dari itu, sangat
tepat apabila CSR diberlakukan sebagai kewajiban yang sifatnya mandatory dan
harus dijalankan oleh pihak perseroan selama masih beroperasi. Demikian pula
pemerintah sebagai agen yang mewakili kepentingan publik. Sudah sepatutnya
mereka (pemerintah) memiliki otoritas untuk melakukan penataan atau meregulasi
CSR.
Dengan demikian,
keberadaan perusahaan akan menjadi sangat bermanfaat, sehingga dapat
menjalankan misinya untuk meraih optimalisasi profit, sekaligus dapat
menjalankan misi sosialnya untuk kepentingan masyarakat. Pengaturan mengenai
tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha
yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan
kewajiban serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan CSR secara
konsisten oleh perusahaan akan mampu menciptakan iklim investasi (penanaman
modal). Anggapan yang mengatakan bahwa CSR akan menghambat iklim investasi
patut ditolak. Ada kewajiban bagi setiap penanam modal yang datang ke Indonesia
wajib mentaati aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia, apapun bentuknya.
UU PM memberikan
jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak
membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.12
11Pernyataan Ketua
Panitia Khusus UU PT Akil Mochtar .
12Pasal 3 UU NO. 25 tahun
2007 tentang Penanaman Modal.
13 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, h. 14.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan latar
belakang dan pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut : pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal
yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha (investor) baik
dalam maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib
melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia,
sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan
aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang
tidak melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku.
2. Saran-saran
A. Pemerintah perlu
terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku usaha untuk menyamakan persepsi
mengenai pentingnya CSR dalam mewujudkan iklim penanaman modal di Indonesia.
B. Dibutuhkan
konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah maupun pelaku usaha (investor)
dalam melakssanakan CSR sebagai suatu kewajiban hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku - buku :
Dirjosisworo Soejono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth
Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan
dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial
RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta, Bandung
Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar
Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta,
1992
Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya,
Yogyakarta, Kanisius, 1998,
B. Jurnal, Tulisan Ilmiah dan Makalah
Gurvy Kavei dalam Teguh , Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, Makalah
pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integrating Social Acpect
into The Business, Yogyajarta, 2006.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Suprapto, Siti Adipringadi Adiwoso, 2006, Pola Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari 2006.
Gurvy Kavei dalam Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus Dilakukan, makalah
pada seminar “Corporate Social Responsibility”: Integrating Social Acpect iinto
The Business, Yogyajarta, 2006.
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth
Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi, CSR, Sebuah Keharusan
dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial
RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005, h. 19.
Penjelasan Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal.
Pascal 74 ayat (3) UUPT yang menyatakan “perseroan yang tidak melaknakan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar
Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta,
1992, h. 68.
Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta,
Kanisius, 1998, h. 122-127.
Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Pernyataan Ketua Panitia Khusus UU PT Akil Mochtar .
Pasal 3 UU NO. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Binacipta, Bandung, h. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar